Elegi Pagi


Elegi Pagi


Tersirat tanya, jika hari itu takdir tidak membawaku ke tempat dimana aku bertemu denganmu, apakah Tuhan masih akan mempertemukan kita di ruang dan waktu yang berbeda? Mungkinkah rasa timbulkan juga suka? Atau mungkin kita akan bertemu namun membisu? Jika aku dapat merangkai takdir, pilihanku bertemu denganmu adalah dalam bisu dalam ruang keterasingan, tak mengenal apalagi berniat tuk menyapa, yang ada mungkin aku akan sibuk dengan ponselku juga kau dengan duniamu.


Apa ini yang orang katakan dengan ketidaksengajaan? Apa karena bumi selalu berputar, maka waktu selalu mengijinkanku untuk bertemu denganmu? Pertemuan yang berakhir dengan rindu untukku, namun tanpa makna untukmu. 

Kau, bumi, waktu, ketidaksengajaan, dan rindu. Mungkin semua itu adalah satu untukku, yaitu biru.


Mencintaimu pilihanku, namun melupakan dan mematikan perasaan untukmu juga tugasku. Membencimu pun pilihanku, diantara dua jalan aku bebas menempuhnya. Pengkhianat? Brengsek? Makian semacam itu bukan label untukmu (dariku), kau hanya seseorang yang lepas tanggung jawab, namun juga tidak biadab. Kau bermoral namun tidak berpendirian.  

Terserahlah, itu hidupmu.


Terkadang aku harus percaya, bahwa sesuatu terjadi untuk satu alasan, namun ada waktu dimana aku ingin menampik kepercayaan itu, karena alasan yang kau ungkapkan tidaklah masuk akal. Disaat orang-orang masih membelamu dan sebagian membelaku, juga sebagian lain memilih untuk tidak mengemukakan pendapatnya, disaat itu aku berjuang untuk menghargai keputusanmu yang bertolak belakang dengan keinginanku.


Dan saat itupula, waktu menenggelamkanmu dari permukaan bumi yang kupijaki. Kau tidak mati, namun pergi dan sulit untuk kembali. Lalu ada sebagian orang yang peduli, pergi mencari kemana kau pergi, namun kau malah bersembunyi, menutup diri. Hingga mereka sadar, kau bukan untuk dicari. Hari terus berganti, dari pagi hingga malam hari. Orang yang sibuk mencarimu kini termakan hiruk pikuk zaman, menyatu dengan bisingnya kota, sampai akhirnya tidak ada lagi yang peduli dan kau pun hidup sendiri. 


Kemudian, setelah lama menghilang, mengapa kau ingin pulang? Kau pulang ataupun menghilang, dunia masih sama, ada kota, udara, dan hampa. Hampa..untuk separuh diantara jiwa yang masih menganggapmu ada. Katakan saja aku sediakan ruang untuk kau kembali pulang, apa ada jaminan untuk kau tak kembali hilang? Aku bisa saja egois, tapi aku tak suka melihat sebagian mereka menangis.  

Begitu caraku menghargai apa yang ku sebut  persahabatan yang dimana olehmu sempat kau lupakan.


Dulu kau yang lebih memilih mengabaikan perasaan karena kau tidak ingin merusak ikatan persahabatan, walaupun pada akhirnya dua hal itu tak ada yang kau perjuangkan. Kini biar aku yang mengikhlaskan, ku abaikan segala perasaan demi persahabatan walaupun mungkin kau yang akan tetap melupakan.   

Kau kembali ataupun pergi lagi, bagiku sama, membuatku berelegi dipagi hari hingga aku mati suatu hari.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teruntuk Penulis Hebat Aan Mansyur